Fiqih Qurban 2

Hewan yang Disukai
dan Lebih Utama
untuk Diqurbankan
Hendaknya hewan
yang diqurbankan
adalah hewan yang
gemuk dan
sempurna. Dalilnya
adalah firman Allah
ta’ala yang artinya,
“…barangsiapa
yang mengagungkan
syi’ar-syi’ar Allah
maka sesungguhnya
itu adalah berasal
dari ketakwaan
hati.” (QS. Al Hajj:
32). Berdasarkan
ayat ini Imam
Syafi’i rahimahullah
menyatakan bahwa
orang yang
berqurban
disunnahkan untuk
memilih hewan
qurban yang besar
dan gemuk. Abu
Umamah bin Sahl
mengatakan,
“Dahulu kami di
Madinah biasa
memilih hewan yang
gemuk dalam
berqurban. Dan
memang kebiasaan
kaum muslimin
ketika itu adalah
berqurban dengan
hewan yang gemuk-
gemuk.” (HR.
Bukhari secara
mu’allaq namun
secara tegas dan
dimaushulkan oleh
Abu Nu’aim dalam
Al Mustakhraj,
sanadnya hasan)
Diantara ketiga jenis
hewan qurban maka
menurut mayoritas
ulama yang paling
utama adalah
berqurban dengan
onta, kemudian sapi
kemudian kambing,
jika biaya pengadaan
masing-masing
ditanggung satu
orang (bukan
urunan). Dalilnya
adalah jawaban Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika
ditanya oleh Abu
Dzar radhiallahu
‘anhu tentang
budak yang lebih
utama. Beliau
bersabda, “Yaitu
budak yang lebih
mahal dan lebih
bernilai dalam
pandangan
pemiliknya” (HR.
Bukhari dan Muslim).
(lihat Shahih Fiqih
Sunnah, II/374)
Manakah yang Lebih
Baik, Ikut Urunan
Sapi atau Qurban
Satu Kambing?
Sebagian ulama
menjelaskan qurban
satu kambing lebih
baik dari pada ikut
urunan sapi atau
onta, karena tujuh
kambing
manfaatnya lebih
banyak dari pada
seekor sapi (lih.
Shahih Fiqh Sunnah,
2/375, Fatwa Lajnah
Daimah no. 1149 &
Syarhul Mumthi’
7/458). Disamping
itu, terdapat alasan
lain diantaranya:
Qurban yang sering
dilakukan Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah
utuh satu ekor, baik
kambing, sapi,
maupun onta, bukan
1/7 sapi atau 1/10
onta.
Kegiatan
menyembelihnya
lebih banyak. Lebih-
lebih jika hadis yang
menyebutkan
keutamaan qurban di
atas statusnya
shahih. Hal ini juga
sesuai dengan apa
yang dinyatakan
oleh penulis kitab Al
Muhadzab Al Fairuz
Abadzi As Syafi’i.
(lih. Al Muhadzab
1/74)
Terdapat sebagian
ulama yang
melarang urunan
dalam berqurban,
diantaranya adalah
Mufti Negri Saudi
Syaikh Muhammad
bin Ibrahim (lih.
Fatwa Lajnah
11/453). Namun
pelarangan ini
didasari dengan
qiyas (analogi) yang
bertolak belakang
dengan dalil sunnah,
sehingga jelas
salahnya.
Apakah Harus
Jantan?
Tidak ada ketentuan
jenis kelamin hewan
qurban. Boleh jantan
maupun betina. Dari
Umu Kurzin
radliallahu ‘anha,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda: “Aqiqah
untuk anal laki-laki
dua kambing dan
anak perempuan
satu kambing. Tidak
jadi masalah jantan
maupun
betina.” (HR. Ahmad
27900 & An Nasa’i
4218 dan
dishahihkan Syaikh
Al Albani).
Berdasarkan hadis
ini, Al Fairuz Abadzi
As Syafi’i
mengatakan: “Jika
dibolehkan
menggunakan
hewan betina ketika
aqiqah berdasarkan
hadis ini,
menunjukkan bahwa
hal ini juga boleh
untuk
berqurban.” (Al
Muhadzab 1/74)
Namun umumnya
hewan jantan itu
lebih baik dan lebih
mahal dibandingkan
hewan betina. Oleh
karena itu, tidak
harus hewan jantan
namun diutamakan
jantan.
Larangan Bagi yang
Hendak Berqurban
Orang yang hendak
berqurban dilarang
memotong kuku dan
memotong
rambutnya (yaitu
orang yang hendak
qurban bukan hewan
qurbannya). Dari
Ummu Salamah dari
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
beliau bersabda,
“Apabila engkau
telah memasuki
sepuluh hari pertama
(bulan Dzulhijjah)
sedangkan diantara
kalian ingin
berqurban maka
janganlah dia
menyentuh
sedikitpun bagian
dari rambut dan
kulitnya.” (HR.
Muslim). Larangan
tersebut berlaku
untuk cara apapun
dan untuk bagian
manapun, mencakup
larangan mencukur
gundul atau sebagian
saja, atau sekedar
mencabutinya. Baik
rambut itu tumbuh di
kepala, kumis,
sekitar kemaluan
maupun di ketiak
(lihat Shahih Fiqih
Sunnah, II/376).
Apakah larangan ini
hanya berlaku untuk
kepala keluarga
ataukah berlaku juga
untuk anggota
keluarga shohibul
qurban?
Jawab: Larangan ini
hanya berlaku untuk
kepala keluarga
(shohibul qurban)
dan tidak berlaku
bagi anggota
keluarganya. Karena
2 alasan:
Dlahir hadis
menunjukkan bahwa
larangan ini hanya
berlaku untuk yang
mau berqurban.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
sering berqurban
untuk dirinya dan
keluarganya. Namun
belum ditemukan
riwayat bahwasanya
beliau menyuruh
anggota keluarganya
untuk tidak
memotong kuku
maupun rambutnya.
(Syarhul Mumti’
7/529)
Waktu
Penyembelihan
Waktu
penyembelihan
qurban adalah pada
hari Iedul Adha dan 3
hari sesudahnya
(hari tasyriq).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda, “Setiap
hari taysriq adalah
(hari) untuk
menyembelih
(qurban).” (HR.
Ahmad dan Baihaqi)
Tidak ada perbedaan
waktu siang ataupun
malam. Baik siang
maupun malam
sama-sama
dibolehkan. Namun
menurut Syaikh Al
Utsaimin, melakukan
penyembelihan di
waktu siang itu lebih
baik. (Tata Cara
Qurban Tuntunan
Nabi, hal. 33). Para
ulama sepakat
bahwa
penyembelihan
qurban tidak boleh
dilakukan sebelum
terbitnya fajar di
hari Iedul Adha. Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang
menyembelih
sebelum shalat Ied
maka sesungguhnya
dia menyembelih
untuk dirinya sendiri
(bukan qurban). Dan
barangsiapa yang
menyembelih
sesudah shalat itu
maka qurbannya
sempurna dan dia
telah menepati
sunnahnya kaum
muslimin.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
(lihat Shahih Fiqih
Sunnah, II/377)
Tempat
Penyembelihan
Tempat yang
disunnahkan untuk
menyembelih adalah
tanah lapangan
tempat shalat ‘ied
diselenggarakan.
Terutama bagi
imam/penguasa/
tokoh masyarakat,
dianjurkan untuk
menyembelih
qurbannya di
lapangan dalam
rangka
memberitahukan
kepada kaum
muslimin bahwa
qurban sudah boleh
dilakukan dan
mengajari tata cara
qurban yang baik.
Ibnu ‘Umar
mengatakan,
“Dahulu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa
menyembelih
kambing dan onta
(qurban) di lapangan
tempat shalat.” (HR.
Bukhari 5552).
Dan dibolehkan
untuk menyembelih
qurban di tempat
manapun yang
disukai, baik di
rumah sendiri
ataupun di tempat
lain. (Lihat Shahih
Fiqih Sunnah, II/378)
Penyembelih Qurban
Disunnahkan bagi
shohibul qurban
untuk menyembelih
hewan qurbannya
sendiri namun boleh
diwakilkan kepada
orang lain. Syaikh Ali
bin Hasan
mengatakan: “Saya
tidak mengetahui
adanya perbedaan
pendapat di
kalangan ulama’
dalam masalah ini.”
Hal ini berdasarkan
hadits Ali bin Abi
Thalib radhiallahu
‘anhu di dalam
Shahih Muslim yang
menceritakan bahwa
pada saat qurban
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
pernah menyembelih
beberapa onta
qurbannya dengan
tangan beliau sendiri
kemudian sisanya
diserahkan kepada
Ali bin Abi Thalib
radhiallahu ‘anhu
untuk disembelih.
(lih. Ahkaamul Idain,
32)
Tata Cara
Penyembelihan
Sebaiknya pemilik
qurban menyembelih
hewan qurbannya
sendiri.
Apabila pemilik
qurban tidak bisa
menyembelih sendiri
maka sebaiknya dia
ikut datang
menyaksikan
penyembelihannya.
Hendaknya memakai
alat yang tajam
untuk menyembelih.
Hewan yang
disembelih
dibaringkan di atas
lambung kirinya dan
dihadapkan ke kiblat.
Kemudian pisau
ditekan kuat-kuat
supaya cepat putus.
Ketika akan
menyembelih
disyari’akan
membaca
“Bismillaahi
wallaahu akbar”
ketika menyembelih.
Untuk bacaan
bismillah (tidak perlu
ditambahi Ar Rahman
dan Ar Rahiim)
hukumnya wajib
menurut Imam Abu
Hanifah, Malik dan
Ahmad, sedangkan
menurut Imam
Syafi’i hukumnya
sunnah. Adapun
bacaan takbir –
Allahu akbar – para
ulama sepakat kalau
hukum membaca
takbir ketika
menyembelih ini
adalah sunnah dan
bukan wajib.
Kemudian diikuti
bacaan:
hadza minka wa
laka.” (HR. Abu
Dawud 2795) Atau
hadza minka wa laka
‘anni atau ‘an
fulan (disebutkan
nama shahibul
qurban).” atau
Berdoa agar Allah
menerima
qurbannya dengan
doa, “Allahumma
taqabbal minni atau
min fulan
(disebutkan nama
shahibul
qurban)” (lih. Tata
Cara Qurban
Tuntunan Nabi, hal.
92)Catatan: Tidak
terdapat do’a
khusus yang panjang
bagi shohibul qurban
ketika hendak
menyembelih.
Wallahu a’lam.
Bolehkah
Mengucapkan
Shalawat Ketika
Menyembelih?
Tidak boleh
mengucapkan
shalawat ketika
hendak
menyembelih,
karena 2 alasan:
Tidak terdapat dalil
bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam
mengucapkan
shalawat ketika
menyembelih.
Sementara
beribadah tanpa dalil
adalah perbuatan
bid’ah.
Bisa jadi orang akan
menjadikan nama
Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagai
wasilah ketika
qurban. Atau bahkan
bisa jadi seseorang
membayangkan Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika
menyembelih,
sehingga
sembelihannya tidak
murni untuk Allah.
(lih. Syarhul Mumti’
7/492)
Pemanfaatan Hasil
Sembelihan
Bagi pemilik hewan
qurban dibolehkan
memanfaatkan
daging qurbannya,
melalui:
Dimakan sendiri dan
keluarganya, bahkan
sebagian ulama
menyatakan
shohibul qurban
wajib makan bagian
hewan qurbannya.
Termasuk dalam hal
ini adalah berqurban
karena nadzar
menurut pendapat
yang benar.
Disedekahkan
kepada orang yang
membutuhkan
Dihadiahkan kepada
orang yang kaya
Disimpan untuk
bahan makanan di
lain hari. Namun
penyimpanan ini
hanya dibolehkan
jika tidak terjadi
musim paceklik atau
krisis makanan.
Dari Salamah bin Al
Akwa’ dia berkata;
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Barangsiapa
diantara kalian yang
berqurban maka
jangan sampai dia
menjumpai subuh
hari ketiga sesudah
Ied sedangkan
dagingnya masih
tersisa walaupun
sedikit.” Ketika
datang tahun
berikutnya maka
para sahabat
mengatakan,
“Wahai Rasulullah,
apakah kami harus
melakukan
sebagaimana tahun
lalu ?” Maka beliau
menjawab,
“(Adapun sekarang)
Makanlah sebagian,
sebagian lagi berikan
kepada orang lain
dan sebagian lagi
simpanlah. Pada
tahun lalu
masyarakat sedang
mengalami kesulitan
(makanan) sehingga
aku berkeinginan
supaya kalian
membantu mereka
dalam hal itu.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Menurut mayoritas
ulama perintah yang
terdapat dalam
hadits ini
menunjukkan hukum
sunnah, bukan wajib
(lihat Shahih Fiqih
Sunnah, II/378) Oleh
sebab itu, boleh
mensedekahkan
semua hasil
sembelihan qurban.
Sebagaimana
diperbolehkan untuk
tidak
menghadiahkannya
(kepada orang kaya,
ed.) sama sekali
kepada orang lain
(Minhaajul Muslim,
266). (artinya hanya
untuk shohibul
qurban dan sedekah
pada orang miskin,
ed.)
Bolehkah
Memberikan Daging
Qurban Kepada
Orang Kafir?
Ulama madzhab
Malikiyah
berpendapat
makruhnya
memberikan daging
qurban kepada orang
kafir, sebagaimana
kata Imam Malik:
“(diberikan) kepada
selain mereka (orang
kafir) lebih aku
sukai.” Sedangkan
syafi’iyah
berpendapat
haramnya
memberikan daging
qurban kepada orang
kafir untuk qurban
yang wajib (misalnya
qurban nadzar, pen.)
dan makruh untuk
qurban yang sunnah.
(lih. Fatwa Syabakah
Islamiyah no. 29843).
Al Baijuri As Syafi’I
mengatakan:
“Dalam Al
Majmu’ (Syarhul
Muhadzab)
disebutkan, boleh
memberikan
sebagian qurban
sunnah kepada kafir
dzimmi yang faqir.
Tapi ketentuan ini
tidak berlaku untuk
qurban yang
wajib.” (Hasyiyah Al
Baijuri 2/310)
Lajnah Daimah
(Majlis Ulama’ saudi
Arabia) ditanya
tentang bolehkah
memberikan daging
qurban kepada orang
kafir.
Jawaban Lajnah:
“Kita dibolehkan
memberi daging
qurban kepada orang
kafir Mu’ahid
(****) baik karena
statusnya sebagai
orang miskin,
kerabat, tetangga,
atau karena dalam
rangka menarik
simpati mereka…
namun tidak
dibolehkan
memberikan daging
qurban kepada orang
kafir Harby, karena
kewajiban kita
kepada kafir harby
adalah merendahkan
mereka dan
melemahkan
kekuatan mereka.
Hukum ini juga
berlaku untuk
pemberian sedekah.
Hal ini berdasarkan
keumuman firman
Allah:
“Allah tidak
melarang kamu
untuk berbuat baik
dan berlaku adil
terhadap orang-
orang yang tidak
memerangimu
karena agama dan
tidak mengusir kamu
dari negerimu.
Sesungguhnya Allah
menyukai orang-
orang yang berlaku
adil.” (QS. Al
Mumtahanah 8)
Demikian pula Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah
memerintahkan
Asma’ binti Abu
Bakr radhiallahu
‘anhu untuk
menemui ibunya
dengan membawa
harta padahal ibunya
masih
musyrik.” (Fatwa
Lajnah Daimah no.
1997).
Kesimpulannya,
memberikan bagian
hewan qurban
kepada orang kafir
dibolehkan karena
status hewan qurban
sama dengan
sedekah atau hadiah,
dan diperbolehkan
memberikan
sedekah maupun
hadiah kepada orang
kafir. Sedangkan
pendapat yang
melarang adalah
pendapat yang tidak
kuat karena tidak
berdalil.
(****) Kafir
Mu’ahid: Orang
kafir yang mengikat
perjanjian damai
dengan kaum
muslimin. Termasuk
orang kafir mu’ahid
adalah orang kafir
yang masuk ke
negeri islam dengan
izin resmi dari
pemerintah. Kafir
Harby: Orang kafir
yang memerangi
kaum muslimin. Kafir
Dzimmi: Orang kafir
yang hidup di bawah
kekuasaan kaum
muslimin.
Larangan
Memperjual-Belikan
Hasil Sembelihan
Tidak diperbolehkan
memperjual-belikan
bagian hewan
sembelihan, baik
daging, kulit, kepala,
teklek, bulu, tulang
maupun bagian yang
lainnya. Ali bin Abi
Thalib radhiallahu
‘anhu mengatakan,
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi
wa sallam
memerintahkan aku
untuk mengurusi
penyembelihan onta
qurbannya. Beliau
juga memerintahkan
saya untuk
membagikan semua
kulit tubuh serta
kulit punggungnya.
Dan saya tidak
diperbolehkan
memberikan bagian
apapun darinya
kepada tukang
jagal.” (HR. Bukhari
dan Muslim). Bahkan
terdapat ancaman
keras dalam masalah
ini, sebagaimana
hadis berikut:
نم عاب دلج هتيحضأ الف
ةيحضأ هل
Dari Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda: “Barang
siapa yang menjual
kulit hewan
qurbannya maka
ibadah qurbannya
tidak ada
nilainya.” (HR. Al
Hakim 2/390 & Al
Baihaqi. Syaikh Al
Albani mengatakan:
Hasan)
Tetang haramnya
pemilik hewan
menjual kulit qurban
merupakan
pendapat mayoritas
ulama, meskipun
Imam Abu Hanifah
menyelisihi mereka.
Namun mengingat
dalil yang sangat
tegas dan jelas maka
pendapat siapapun
harus disingkirkan.
Catatan:
Termasuk
memperjual-belikan
bagian hewan
qurban adalah
menukar kulit atau
kepala dengan
daging atau menjual
kulit untuk kemudian
dibelikan kambing.
Karena hakekat jual-
beli adalah tukar-
menukar meskipun
dengan selain uang.
Transaksi jual-beli
kulit hewan qurban
yang belum
dibagikan adalah
transaksi yang tidak
sah. Artinya penjual
tidak boleh
menerima uang hasil
penjualan kulit dan
pembeli tidak berhak
menerima kulit yang
dia beli. Hal ini
sebagaimana
perkataan Al Baijuri:
“Tidak sah jual beli
(bagian dari hewan
qurban) disamping
transaksi ini adalah
haram.” Beliau juga
mengatakan: “Jual
beli kulit hewan
qurban juga tidak
sah karena hadis
yang diriwayatkan
Hakim (baca: hadis di
atas).” (Fiqh
Syafi’i 2/311).
Bagi orang yang
menerima kulit
dibolehkan
memanfaatkan kulit
sesuai keinginannya,
baik dijual maupun
untuk pemanfaatan
lainnya, karena ini
sudah menjadi
haknya. Sedangkan
menjual kulit yang
dilarang adalah
menjual kulit
sebelum dibagikan
(disedekahkan), baik
yang dilakukan
panitia maupun
shohibul qurban.
Larangan Mengupah
Jagal Dengan Bagian
Hewan Sembelihan
Dari Ali bin Abi Thalib
radhiallahu ‘anhu
bahwa “Beliau
pernah
diperintahkan Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk
mengurusi
penyembelihan
ontanya dan agar
membagikan seluruh
bagian dari
sembelihan onta
tersebut, baik yang
berupa daging, kulit
tubuh maupun
pelana. Dan dia tidak
boleh
memberikannya
kepada jagal barang
sedikitpun.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
dan dalam lafaz
lainnya beliau
berkata, “Kami
mengupahnya dari
uang kami
pribadi.” (HR.
Muslim). Danini
merupakan
pendapat mayoritas
ulama (lihat Shahih
Fiqih Sunnah, II/379)
Syaikh Abdullah Al
Bassaam
mengatakan,
“Tukang jagal tidak
boleh diberi daging
atau kulitnya
sebagai bentuk upah
atas pekerjaannya.
Hal ini berdasarkan
kesepakatan para
ulama. Yang
diperbolehkan
adalah
memberikannya
sebagai bentuk
hadiah jika dia
termasuk orang
kaya atau sebagai
sedekah jika
ternyata dia adalah
miskin…..” (Taudhihul
Ahkaam, IV/464).
Pernyataan beliau
semakna dengan
pernyataan Ibn
Qosim yang
mengatakan:
“Haram menjadikan
bagian hewan
qurban sebagai upah
bagi jagal.”
Perkataan beliau ini
dikomentari oleh Al
Baijuri: “Karena hal
itu (mengupah jagal)
semakna dengan jual
beli. Namun jika jagal
diberi bagian dari
qurban dengan
status sedekah
bukan upah maka
tidak
haram.” (Hasyiyah
Al Baijuri As Syafi’i
2/311).
Adapun bagi orang
yang memperoleh
hadiah atau sedekah
daging qurban
diperbolehkan
memanfaatkannya
sekehendaknya, bisa
dimakan, dijual atau
yang lainnya. Akan
tetapi tidak
diperkenankan
menjualnya kembali
kepada orang yang
memberi hadiah atau
sedekah kepadanya
(Tata Cara Qurban
Tuntunan Nabi, 69)
Menyembelih Satu
Kambing Untuk
Makan-Makan
Panitia? Atau Panitia
Dapat Jatah Khusus?
Status panitia
maupun jagal dalam
pengurusan hewan
qurban adalah
sebagai wakil dari
shohibul qurban dan
bukan amil (*****).
Karena statusnya
hanya sebagai wakil
maka panitia qurban
tidak diperkenankan
mengambil bagian
dari hewan qurban
sebagai ganti dari
jasa dalam
mengurusi hewan
qurban. Untuk lebih
memudahkan bisa
diperhatikan ilustrasi
kasus berikut:
Adi ingin mengirim
uang Rp 1 juta
kepada Budi. Karena
tidak bisa ketemu
langsung maka Adi
mengutus Rudi untuk
mengantarkan uang
tersebut kepada
Budi. Karena harus
ada biaya transport
dan biaya lainnya
maka Adi
memberikan
sejumlah uang
kepada Rudi.
Bolehkah uang ini
diambilkan dari uang
Rp 1 juta yang akan
dikirimkan kepada
Budi?? Semua orang
akan menjawab:
“TIDAK BOLEH
KARENA BERARTI
MENGURANGI
UANGNYA BUDI.”
Status Rudi pada
kasus di atas
hanyalah sebagai
wakil Adi. Demikian
pula qurban. Status
panitia hanya
sebagai wakil
pemilik hewan,
sehingga dia tidak
boleh mengambil
bagian qurban
sebagai ganti dari
jasanya. Oleh karena
itu, jika
menyembelih satu
kambing untuk
makan-makan
panitia, atau panitia
dapat jatah khusus
sebagai ganti jasa
dari kerja yang
dilakukan panitia
maka ini tidak
diperbolehkan.
(*****) Sebagian
orang menyamakan
status panitia qurban
sebagaimana status
amil dalam zakat.
Bahkan mereka
meyebut panitia
qurban dengan
‘amil qurban’.
Akibatnya mereka
beranggapan panitia
memiliki jatah
khusus dari hewan
qurban sebagaimana
amil zakat memiliki
jatah khusus dari
harta zakat. Yang
benar, amil zakat
tidaklah sama
dengan panitia
pengurus qurban.
Karena untuk bisa
disebut amil, harus
memenuhi beberapa
persyaratan.
Sementara pengurus
qurban hanya
sebatas wakil dari
shohibul qurban,
sebagaimana status
sahabat Ali
radhiallahu ‘anhu
dalam mengurusi
qurban Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Dan tidak
ada riwayat Ali
radhiallahu ‘anhu
mendapat jatah
khusus dari
qurbannya Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Nasehat & Solusi
Untuk Masalah Kulit
Satu penyakit kronis
yang menimpa
ibadah qurban kaum
muslimin bangsa
kita, mereka tidak
bisa lepas dari ‘fiqh
praktis’ menjual
kulit atau menggaji
jagal dengan kulit.
Memang kita akui ini
adalah jalan pintas
yang paling cepat
untuk melepaskan
diri dari tanggungan
mengurusi kulit.
Namun apakah jalan
pintas cepat ini
menjamin
keselamatan???
Bertaqwalah kepada
Allah wahai kaum
muslimin…
sesungguhnya
ibadah qurban telah
diatur dengan indah
dan rapi oleh Sang
Peletak Syari’ah.
Jangan coba-coba
untuk keluar dari
aturan ini karena
bisa jadi qurban kita
tidak sah.
Berusahalah untuk
senantiasa berjalan
sesuai syari’at
meskipun jalurnya
‘kelihatannya’
lebih panjang dan
sedikit menyibukkan.
Jangan pula
terkecoh dengan
pendapat sebagian
orang, baik ulama
maupun yang ngaku-
ngaku ulama, karena
orang yang berhak
untuk ditaati secara
mutlak hanya satu
yaitu Nabi kita
Muhammad
shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Maka
semua pendapat
yang bertentangan
dengan hadis beliau
harus dibuang jauh-
jauh.
Tidak perlu bingung
dan merasa repot.
Bukankah Ali bin Abi
Thalib radhiallahu
‘anhu pernah
mengurusi
qurbannya Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang
jumlahnya 100 ekor
onta?! Tapi tidak ada
dalam catatan
sejarah Ali bin Abi
thalib radhiallahu
‘anhu bingung
ngurusi kulit dan
kepala. Demikianlah
kemudahan yang
Allah berikan bagi
orang yang 100%
mengikuti aturan
syari’at. Namun
bagi mereka (baca:
panitia) yang masih
merasa bingung
ngurusi kulit, bisa
dilakukan beberapa
solusi berikut:
Kumpulkan semua
kulit, kepala, dan
kaki hewan qurban.
Tunjuk sejumlah
orang miskin sebagai
sasaran penerima
kulit. Tidak perlu
diantar ke
rumahnya, tapi
cukup hubungi
mereka dan
sampaikan bahwa
panitia siap
menjualkan kulit
yang sudah menjadi
hak mereka. Dengan
demikian, status
panitia dalam hal ini
adalah sebagai wakil
bagi pemilik kulit
untuk menjualkan
kulit, bukan wakil
dari shohibul qurban
dalam menjual kulit.
Serahkan semua
atau sebagian kulit
kepada yayasan
islam sosial
(misalnya panti
asuhan atau pondok
pesantren).
(Terdapat Fatwa
Lajnah yang
membolehkan
menyerahkan bagian
hewan qurban
kepada yayasan).
Mengirim sejumlah
uang untuk dibelikan
hewan qurban di
tempat tujuan (di
luar daerah pemilik
hewan) dan
disembelih di tempat
tersebut? atau
mengirimkan hewan
hidup ke tempat lain
untuk di sembelih di
sana?
Pada asalnya tempat
menyembelih qurban
adalah daerah orang
yang berqurban.
Karena orang-orang
yang miskin di
daerahnya itulah
yang lebih berhak
untuk disantuni.
Sebagian syafi’iyah
mengharamkan
mengirim hewan
qurban atau uang
untuk membeli
hewan qurban ke
tempat lain – di luar
tempat tinggal
shohibul qurban –
selama tidak ada
maslahat yang
menuntut hal itu,
seperti penduduk
tempat shohibul
qurban yang sudah
kaya sementara
penduduk tempat
lain sangat
membutuhkan.
Sebagian ulama
membolehkan
secara mutlak
(meskipun tidak ada
tuntutan maslahat).
Sebagai jalan keluar
dari perbedaan
pendapat, sebagian
ulama
menasehatkan agar
tidak mengirim
hewan qurban ke
selain tempat
tinggalnya. Artinya
tetap disembelih di
daerah shohibul
qurban dan yang
dikirim keluar adalah
dagingnya. (lih.
Fatwa Syabakah
Islamiyah no. 2997,
29048, dan 29843 &
Shahih Fiqih Sunnah,
II/380
Kesimpulannya,
berqurban dengan
model seperti ini
(mengirim hewan
atau uang dan bukan
daging) termasuk
qurban yang sah
namun menyelisihi
sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam karena
tiga hal:
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
dan para sahabat
radiallahu ‘anhum
tidak pernah
mengajarkannya
Hilangnya sunnah
anjuran untuk
disembelih sendiri
oleh shohibul qurban
Hilangnya sunnah
anjuran untuk
makan bagian dari
hewan qurban.
Wallaahu waliyut
taufiq.
Bagi para pembaca
yang ingin membaca
penjelasan yang
lebih lengkap dan
memuaskan silakan
baca buku Tata Cara
Qurban Tuntunan
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
yang diterjemahkan
Ustadz Aris
Munandar
hafizhahullah dari
Talkhish Kitab
Ahkaam Udh-hiyah
wadz Dzakaah karya
Syaikh Al Utsaimin
rahimahullah,
penerbit Media
Hidayah. Semoga
risalah yang ringkas
sebagai pelengkap
untuk tulisan
saudaraku Abu
Muslih hafizhahullah
ini bermanfaat dan
menjadi amal yang
diterima oleh Allah
ta’ala,
sesungguhnya Dia
Maha Pemurah lagi
Maha Mulia.
Shalawat dan salam
semoga terlimpah
kepada Nabi
Muhammad
shallallahu ‘alaihi
wa sallam, serta
seluruh pengikut
beliau yang setia.
Alhamdulillaahi
Rabbil ‘aalamiin.
Yogyakarta, 1 Dzul
hijjah 1428
Keutamaan Tanggal
1 Sampai 10 Dzul
Hijjah
Dari Ibn Abbas
radhiallahu ‘anhu
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda:
ام نم ماّيأ لمعلا
حلاّصلا اهيف ّبحأ ىلإ
هّللا نم هذه ماّيألا –
ينعي ماّيأ رشعلا –
اولاق : اي لوسر هّللا
الو داهجلا يف ليبس
هّللا ؟ لاق : الو
داهجلا يف ليبس هّللا ،
ّالإ لجر جرخ هسفنب
هلامو ، ملف عجري نم
كلذ ءيشب .
“Tidak ada satu
amal sholeh yang
lebih dicintai oleh
Allah melebihi amal
sholeh yang
dilakukan selama 10
hari pertama bulan
Dzul Hijjah.” Para
sahabat bertanya:
“Tidak pula jihad?”
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
menjawab: “Tidak
pula jihad, kecuali
orang yang
berangkat jihad
dengan jiwa dan
hartanya namun
tidak ada yang
kembali
satupun.” (HR. Abu
Daud & dishahihkan
Syaikh Al Albani)
Berdasarkan hadis
tersebut, ulama’
sepakat
dianjurkannya
berpuasa selama 8
hari pertama bulan
Dzul hijjah. Dan lebih
ditekankan lagi pada
tanggal 9 Dzul Hijjah
(Hari ‘Arafah)
Diceritakan oleh Al
Mundziri dalam At
Targhib (2/150)
bahwa Sa’id bin
Jubair (Murid terbaik
Ibn Abbas) ketika
memasuki tanggal
satu Dzul Hijjah,
beliau sangat
bersungguh-sungguh
dalam beribadah
sampai hampir tidak
bisa mampu
melakukannya.
Bagaimana dengan
Puasa Hari Tarwiyah
(8 Dzul Hijjah) Secara
Khusus?
Terdapat hadis yang
menyatakan:
“Orang yang
berpuasa pada hari
tarwiyah maka
baginya pahala
puasa satu tahun.”
Namun hadis ini
hadits palsu
sebagaimana
ditegaskan oleh Ibnul
Zauzy (Al
Maudhu’at 2/198),
As Suyuthi (Al
Masnu’ 2/107), As
Syaukani (Al
Fawaidul
Majmu’ah).
Oleh karena itu, tidak
perlu berniat khusus
untuk berpuasa pada
tanggal 8 Dzul Hijjah
karena hadisnya
dhaif. Namun jika
berpuasa karena
mengamalkan
keumuman hadis
shahih di atas maka
diperbolehkan.
(disarikan dari Fatwa
Yas-aluunaka, Syaikh
Hissamuddin
‘Affaanah).
Wallaahu a’lam.
***
Penulis: Ammi Nur
Baits
Artikel
www.muslim.or.id
Artikel ini merupakan
tulisan yang
melengkapi artikel
tentang Fiqh Qurban
yang ditulis Al Akh Al
Fadhil Abu Mushlih
Ari Wahyudi
12

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H

BELAJAR EKG MUDAH