apa itu wahabi (1)

نمحرلا
ميحرلا
نإ دمحلا هلل هدمحن
هنيعتسنو هرفغتسنو
ذوعنو هللاب نم رورش
انسفنأ نمو تائيس
انلامعأ، نم هدهي هللا
الف لضم هل نمو للضي
الف يداه هل، دهشأو نأ
ال هلإ الإ هللا هدحو
ال كيرش هل، دهشأو نأ
ًادمحم هدبع هلوسرو،
ىلص هللا هيلع ىلعو هلآ
هبحصو نمو مهعبت
ٍناسحإب ىلإ موي نيدلا .
اَي اَهُّيَأ
َنيِذَّلا ْاوُنَمآ
ْاوُقَّتا َهّللا
َّقَح ِهِتاَقُت َالَو
َّنُتوُمَت َّالِإ
مُتنَأَو
َنوُمِلْسُّم
اَي اَهُّيَأ ُساَّنلا
ْاوُقَّتا ُمُكَّبَر
يِذَّلا مُكَقَلَخ
نِّم ٍسْفَّن
ٍةَدِحاَو َقَلَخَو
اَهْنِم اَهَجْوَز
َّثَبَو اَمُهْنِم
ًالاَجِر ًاريِثَك
ءاَسِنَو ْاوُقَّتاَو
َهّللا يِذَّلا
َنوُلءاَسَت ِهِب
َماَحْرَألاَو َّنِإ
َهّللا َناَك
ْمُكْيَلَع اًبيِقَر
اَي اَهُّيَأ
َنيِذَّلا اوُنَمآ
اوُقَّتا َهَّللا
اوُلوُقَو اًلْوَق
اًديِدَس . ْحِلْصُي
ْمُكَل ْمُكَلاَمْعَأ
ْرِفْغَيَو ْمُكَل
ْمُكَبوُنُذ نَمَو
ْعِطُي َهَّللا
ُهَلوُسَرَو ْدَقَف
َزاَف اًزْوَف
اًميِظَع
نإف َقدصأ ثيدحلا باتك
هللا َريخو يدهلا ُيده
دمحم ىلص هللا هيلع
ملسو َّرشو رومألا
اهتاثدحم َّلكو ةثدحم
ةعدب َّلكو ةعدب ةلالض
َّلكو ةلالض يف رانلا،
امأ دعب ؛
Pertama dan utama
sekali kita ucapkan
puji syukur kepada
Allah subhaanahu wa
ta’ala, yang
senantiasa
melimpahkan
rahmat dan karunia-
Nya kepada kita,
sehingga pada
kesempatan yang
sangat berbahagia
ini kita dapat
berkumpul dalam
rangka menambah
wawasan
keagamaan kita
sebagai salah satu
bentuk aktivitas
‘ubudiyah kita
kepada-Nya.
Kemudian salawat
beserta salam buat
Nabi kita Muhammad
shallallahu ‘alaihi
wa sallam, yang
telah bersusah
payah
memperjuangkan
agama yang kita
cintai ini, untuk demi
tegaknya kalimat
tauhid di permukaan
bumi ini, begitu pula
untuk para keluarga
dan sahabat beliau
beserta orang-orang
yang setia
berpegang teguh
dengan ajaran beliau
sampai hari
kemudian.
Selanjutnya tak lupa
ucapan terima kasih
kami aturkan untuk
para panitia yang
telah memberi
kesempatan dan
mempercayakan
kepada kami untuk
berbicara di hadapan
para hadirin semua
pada kesempatan ini,
serta telah
menggagas untuk
terlaksananya acara
tabliq akbar ini
dengan segala daya
dan upaya semoga
Allah menjadikan
amalan mereka
tercatat sebagai
amal saleh di hari
kiamat kelak, amiin
ya Rabbal ‘alamiin.
Dalam kesempatan
yang penuh berkah
ini, panitia telah
mempercayakan
kepada kami untuk
berbicara dengan
topik: Apa Wahabi
Itu?, semoga Allah
memberikan taufik
dan inayah-Nya
kepada kami dalam
mengulas topik
tersebut.
Pertanyaan yang
amat singkat di atas
membutuhkan
jawaban yang cukup
panjang, jawaban
tersebut akan
tersimpul dalam
beberapa poin
berikut ini:
Keadaan yang
melatar belakangi
munculnya tuduhan
wahabi.
Kepada siapa
ditujukan tuduhan
wahabi tersebut
diarahkan?.
Pokok-pokok
landasan dakwah
yang dicap sebagai
wahabi.
Bukti kebohongan
tuduhan wahabi
terhadap dakwah
Ahlussunnah Wal
Jama’ah.
Ringkasan dan
penutup.
Keadaan yang
Melatar Belakangi
Munculnya Tuduhan
Wahabi
Para hadirin yang
kami hormati,
dengan melihat
gambaran sekilas
tentang keadaan
Jazirah Arab serta
negeri sekitarnya,
kita akan tahu sebab
munculnya tuduhan
tersebut, sekaligus
kita akan mengerti
apa yang
melatarbelakanginya.
Yang ingin kita tinjau
di sini adalah dari
aspek politik dan
keagamaan secara
umum, aspek aqidah
secara khusus.
Dari segi aspek
politik Jazirah Arab
berada di bawah
kekuasaan yang
terpecah-pecah,
terlebih khusus
daerah Nejd,
perebutan
kekuasaan selalu
terjadi di sepanjang
waktu, sehingga hal
tersebut sangat
berdampak negatif
untuk kemajuan
ekonomi dan
pendidikan agama.
Para penguasa hidup
dengan memungut
upeti dari rakyat
jelata, jadi mereka
sangat marah bila
ada kekuatan atau
dakwah yang dapat
akan menggoyang
kekuasaan mereka,
begitu pula dari
kalangan para tokoh
adat dan agama
yang biasa
memungut iuran dari
pengikut mereka,
akan kehilangan
objek jika pengikut
mereka mengerti
tentang aqidah dan
agama dengan
benar, dari sini
mereka sangat hati-
hati bila ada
seseorang yang
mencoba memberi
pengertian kepada
umat tentang aqidah
atau agama yang
benar.
Dari segi aspek
agama, pada abad
(12 H / 17 M)
keadaan beragama
umat Islam sudah
sangat jauh
menyimpang dari
kemurnian Islam itu
sendiri, terutama
dalam aspek aqidah,
banyak sekali di sana
sini praktek-praktek
syirik atau bid’ah,
para ulama yang ada
bukan berarti tidak
mengingkari hal
tersebut, tapi usaha
mereka hanya
sebatas lingkungan
mereka saja dan
tidak berpengaruh
secara luas, atau
hilang ditelan oleh
arus gelombang
yang begitu kuat dari
pihak yang
menentang karena
jumlah mereka yang
begitu banyak di
samping pengaruh
kuat dari tokoh-
tokoh masyarakat
yang mendukung
praktek-praktek
syirik dan bid’ah
tersebut demi
kelanggengan
pengaruh mereka
atau karena mencari
kepentingan duniawi
di belakang itu,
sebagaimana
keadaan seperti ini
masih kita saksikan
di tengah-tengah
sebagian umat Islam,
barangkali negara
kita masih dalam
proses ini, di mana
aliran-aliran sesat
dijadikan segi batu
loncatan untuk
mencapai pengaruh
politik.
Pada saat itu di Nejd
sebagai tempat
kelahiran sang
pengibar bendera
tauhid Syaikh
Muhammad bin Abdul
Wahab sangat
menonjol hal
tersebut. Disebutkan
oleh penulis sejarah
dan penulis biografi
Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahab,
bahwa di masa itu
pengaruh
keagamaan
melemah di dalam
tubuh kaum
muslimin sehingga
tersebarlah berbagai
bentuk maksiat,
khurafat, syirik,
bid’ah, dan
sebagainya. Karena
ilmu agama mulai
minim di kalangan
kebanyakan kaum
muslimin, sehingga
praktek-praktek
syirik terjadi di sana
sini seperti meminta
ke kuburan wali-
wali, atau meminta
ke batu-batu dan
pepohonan dengan
memberikan
sesajian, atau
mempercayai dukun,
tukang tenung dan
peramal. Salah satu
daerah di Nejd,
namanya kampung
Jubailiyah di situ
terdapat kuburan
sahabat Zaid bin
Khaththab (saudara
Umar bin Khaththab)
yang syahid dalam
perperangan
melawan
Musailamah Al
Kadzab, manusia
berbondong-
bondong ke sana
untuk meminta
berkah, untuk
meminta berbagai
hajat, begitu pula di
kampung ‘Uyainah
terdapat pula sebuah
pohon yang
diagungkan, para
manusia juga
mencari berkah ke
situ, termasuk para
kaum wanita yang
belum juga
mendapatkan
pasangan hidup
meminta ke sana.
Adapun daerah Hijaz
(Mekkah dan
Madinah) sekalipun
tersebarnya ilmu
dikarenakan
keberadaan dua kota
suci yang selalu
dikunjungi oleh para
ulama dan penuntut
ilmu. Di sini tersebar
kebiasaan suka
bersumpah dengan
selain Allah,
menembok serta
membangun kubah-
kubah di atas
kuburan serta
berdoa di sana untuk
mendapatkan
kebaikan atau untuk
menolak mara
bahaya dsb (lihat
pembahasan ini
dalam kitab
Raudhatul Afkar
karangan Ibnu
Qhanim). Begitu pula
halnya dengan
negeri-negeri sekitar
hijaz, apalagi negeri
yang jauh dari dua
kota suci tersebut,
ditambah lagi
kurangnya ulama,
tentu akan lebih
memprihatinkan lagi
dari apa yang terjadi
di Jazirah Arab.
Hal ini disebut Syaikh
Muhammad bin Abdul
Wahab dalam
kitabnya al-
Qawa’id Arba’:
“Sesungguhnya
kesyirikan pada
zaman kita sekarang
melebihi kesyirikan
umat yang lalu,
kesyirikan umat
yang lalu hanya pada
waktu senang saja,
akan tetapi mereka
ikhlas pada saat
menghadapi bahaya,
sedangkan
kesyirikan pada
zaman kita
senantiasa pada
setiap waktu, baik di
saat aman apalagi
saat mendapat
bahaya.” Dalilnya
firman Allah:
اَذِإَف اوُبِكَر يِف
ِكْلُفْلا اُوَعَد
َهَّللا َنيِصِلْخُم
ُهَل َنيِّدلا
اَّمَلَف ْمُهاَّجَن
ىَلِإ ِّرَبْلا اَذِإ
ْمُه َنوُكِرْشُي
“Maka apabila
mereka menaiki
kapal, mereka
berdoa kepada Allah
dengan
mengikhlaskan
agama padanya,
maka tatkala Allah
menyelamatkan
mereka sampai ke
daratan, seketika
mereka kembali
berbuat syirik.” (QS.
al-Ankabut: 65)
Dalam ayat ini Allah
terangkan bahwa
mereka ketika
berada dalam
ancaman bencana
yaitu tenggelam
dalam lautan,
mereka berdoa
hanya semata
kepada Allah dan
melupakan berhala
atau sesembahan
mereka baik dari
orang sholeh, batu
dan pepohonan,
namun saat mereka
telah selamat
sampai di daratan
mereka kembali
berbuat syirik. Tetapi
pada zaman
sekarang orang
melakukan syirik
dalam setiap saat.
Dalam keadaan
seperti di atas Allah
membuka sebab
untuk kembalinya
kaum muslimin
kepada Agama yang
benar, bersih dari
kesyirikan dan
bid’ah.
Sebagaimana yang
telah disebutkan
oleh Rasulullah
dalam sabdanya:
« َّنِإ َهللا
ُثَعْبَي ِهِذَهِل
ِةَّمُألا ىَلَع
ِسْأَر ِّلُك ِةَئاِم
ٍةَنَس ْنَم ُدِّدَجُي
اَهَل اَهَنْيِد »
“Sesungguhnya
Allah mengutus
untuk umat ini pada
setiap penghujung
seratus tahun orang
yang
memperbaharui
untuk umat ini
agamanya.” (HR.
Abu Daud no. 4291, Al
Hakim no. 8592)
Pada abad (12 H / 17
M) lahirlah seorang
pembaharu di negeri
Nejd, yaitu: Syaikh
Muhammad bin Abdul
Wahhab Dari Kabilah
Bani Tamim.
Yang pernah
mendapat pujian dari
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
dalam sabda beliau:
“Bahwa mereka
(yaitu Bani Tamim)
adalah umatku yang
terkuat dalam
menentang
Dajjal.” (HR. Bukhari
no. 2405, Muslim no.
2525)
tepatnya tahun 1115
H di ‘Uyainah di
salah satu
perkampungan
daerah Riyadh. Beliau
lahir dalam
lingkungan keluarga
ulama, kakek dan
bapak beliau
merupakan ulama
yang terkemuka di
negeri Nejd, belum
berumur sepuluh
tahun beliau telah
hafal al-Qur’an, ia
memulai
pertualangan
ilmunya dari ayah
kandungnya dan
pamannya, dengan
modal kecerdasan
dan ditopang oleh
semangat yang
tinggi beliau
berpetualang ke
berbagai daerah
tetangga untuk
menuntut ilmu
seperti daerah
Basrah dan Hijaz,
sebagaimana
lazimnya kebiasaan
para ulama dahulu
yang mana mereka
membekali diri
mereka dengan ilmu
yang matang
sebelum turun ke
medan dakwah.
Hal ini juga disebut
oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul
Wahab dalam
kitabnya Ushul
Tsalatsah:
“Ketahuilah semoga
Allah merahmatimu,
sesungguhnya wajib
atas kita untuk
mengenal empat
masalah; pertama
Ilmu yaitu mengenal
Allah, mengenal
nabinya, mengenal
agama Islam dengan
dalil-dalil”.
Kemudian beliau
sebutkan dalil
tentang pentingnya
ilmu sebelum
beramal dan
berdakwah, beliau
sebutkan ungkapan
Imam Bukhari: “Bab
berilmu sebelum
berbicara dan
beramal, dalilnya
firman Allah yang
berbunyi:
ْمَلْعاَف ُهَّنَأ ال
َهَلِإ الِإ ُهَّللا
ْرِفْغَتْساَو
َكِبْنَذِل
َنيِنِمْؤُمْلِلَو
ِتاَنِمْؤُمْلاَو
ُهَّللاَو ُمَلْعَي
ْمُكَبَّلَقَتُم
ْمُكاَوْثَمَو
“Ketahuilah
sesungguhnya tiada
yang berhak
disembah kecuali
Allah dan minta
ampunlah atas
dosamu.” Maka
dalam ayat ini Allah
memulai dengan
perintah ilmu
sebelum berbicara
dan beramal”.
Setelah beliau
kembali dari
pertualangan ilmu,
beliau mulai
berdakwah di
kampung Huraimilak
di mana ayah
kandung beliau
menjadi Qadhi
(hakim). Selain
berdakwah, beliau
tetap menimba ilmu
dari ayah beliau
sendiri, setelah ayah
beliau meninggal
tahun 1153, beliau
semakin gencar
mendakwahkan
tauhid, ternyata
kondisi dan situasi di
Huraimilak kurang
menguntungkan
untuk dakwah,
selanjut beliau
berpindah ke
‘Uyainah, ternyata
penguasa ‘Uyainah
saat itu memberikan
dukungan dan
bantuan untuk
dakwah yang beliau
bawa, namun
akhirnya penguasa
‘Uyainah mendapat
tekanan dari
berbagai pihak,
akhirnya beliau
berpindah lagi dari
‘Uyainah ke
Dir’iyah, ternyata
masyarakat
Dir’iyah telah
banyak mendengar
tentang dakwah
beliau melalui murid-
murid beliau,
termasuk sebagian
di antara murid
beliau keluarga
penguasa Dir’iyah,
akhirnya timbul
inisiatif dari sebagian
dari murid beliau
untuk memberi tahu
pemimpin Dir’yah
tentang kedatangan
beliau, maka dengan
rendah hati
Muhammad bin Saud
sebagai pemimpin
Dir’iyah waktu itu
mendatangi tempat
di mana Syaikh
Muhammad bin Abdul
Wahab menumpang,
maka di situ
terjalinlah perjanjian
yang penuh berkah
bahwa di antara
keduanya berjanji
akan bekerja sama
dalam menegakkan
agama Allah. Dengan
mendengar adanya
perjanjian tersebut
mulailah musuh-
musuh Aqidah
kebakaran jenggot,
sehingga mereka
berusaha dengan
berbagai dalih untuk
menjatuhkan
kekuasaan
Muhammad bin Saud,
dan menyiksa orang-
orang yang pro
terhadap dakwah
tauhid.
Kepada Siapa
Dituduhkan Gelar
Wahabi Tersebut
Karena hari demi hari
dakwah tauhid
semakin tersebar
mereka para musuh
dakwah tidak
mampu lagi untuk
melawan dengan
kekuatan, maka
mereka berpindah
arah dengan
memfitnah dan
menyebarkan isu-isu
bohong supaya
mendapat dukungan
dari pihak lain untuk
menghambat laju
dakwah tauhid
tersebut. Diantar
fitnah yang tersebar
adalah sebutan
wahabi untuk orang
yang mengajak
kepada tauhid.
Sebagaimana
lazimnya setiap
penyeru kepada
kebenaran pasti
akan menghadapi
berbagai tantangan
dan onak duri dalam
menelapaki
perjalanan dakwah.
Sebagaimana telah
dijelaskan pula oleh
Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahab
dalam kitab beliau
Kasyfus Syubuhaat:
“Ketahuilah olehmu,
bahwa
sesungguhnya di
antara hikmah Allah
subhaanahu wa
ta’ala, tidak diutus
seorang nabi pun
dengan tauhid ini,
melainkan Allah
menjadikan baginya
musuh-musuh,
sebagaimana firman
Allah:
َكِلَذَكَو اَنْلَعَج
ِّلُكِل ٍّيِبَن
اًّوُدَع َنيِطاَيَش
ِسْنإلا ِّنِجْلاَو
يِحوُي ْمُهُضْعَب
ىَلِإ ٍضْعَب َفُرْخُز
ِلْوَقْلا اًروُرُغ
“Demikianlah Kami
jadikan bagi setiap
Nabi itu musuh
(yaitu) setan dari
jenis manusia dan
jin, sebagian mereka
membisikkan kepada
bagian yang lain
perkataan indah
sebagai
tipuan.” (QS. al-
An-’am: 112)
Bila kita membaca
sejarah para nabi
tidak seorang pun di
antara mereka yang
tidak menghadapi
tantangan dari
kaumnya, bahkan di
antara mereka ada
yang dibunuh,
termasuk Nabi kita
shallallahu ‘alaihi
wa sallam diusir dari
tanah kelahirannya,
beliau dituduh
sebagai orang gila,
sebagai tukang sihir
dan penyair, begitu
pula pera ulama
yang mengajak
kepada ajarannya
dalam sepanjang
masa. Ada yang
dibunuh,
dipenjarakan,
disiksa, dan
sebagainya. Atau
dituduh dengan
tuduhan yang bukan-
bukan untuk
memojokkan
mereka di hadapan
manusia, supaya
orang lari dari
kebenaran yang
mereka serukan.
Hal ini pula yang
dihadapi Syaikh
Muhammad bin Abdul
Wahab, sebagaimana
yang beliau
ungkapkan dalam
lanjutan surat beliau
kepada penduduk
Qashim: “Kemudian
tidak tersembunyi
lagi atas kalian, saya
mendengar bahwa
surat Sulaiman bin
Suhaim (seorang
penentang dakwah
tauhid) telah sampai
kepada kalian, lalu
sebagian di antara
kalian ada yang
percaya terhadap
tuduhan-tuduhan
bohong yang ia tulis,
yang mana saya
sendiri tidak pernah
mengucapkannya,
bahkan tidak pernah
terlintas dalam
ingatanku, seperti
tuduhannya:
Bahwa saya
mengingkari kitab-
kitab mazhab yang
empat.
Bahwa saya
mengatakan bahwa
manusia semenjak
enam ratus tahun
lalu sudah tidak lagi
memiliki ilmu.
Bahwa saya
mengaku sebagai
mujtahid.
Bahwa saya
mengatakan bahwa
perbedaan pendapat
antara ulama adalah
bencana.
Bahwa saya
mengkafirkan orang
yang bertawassul
dengan orang-orang
saleh (yang masih
hidup -ed).
Bahwa saya pernah
berkata; jika saya
mampu saya akan
runtuhkan kubah
yang ada di atas
kuburan Rasululllah
shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Bahwa saya pernah
berkata, jika saya
mampu saya akan
ganti pancuran
ka’bah dengan
pancuran kayu.
Bahwa saya
mengharamkan
ziarah kubur.
Bahwa saya
mengkafirkan orang
bersumpah dengan
selain Allah.
Jawaban saya untuk
tuduhan-tuduhan ini
adalah:
sesungguhnya ini
semua adalah suatu
kebohongan yang
nyata. Lalu beliau
tutup dengan firman
Allah:
اَي اَهُّيَأ
َنيِذَّلا اوُنَمآ
ْنِإ ْمُكَءاَج
ٌقِساَف ٍإَبَنِب
اوُنَّيَبَتَف ْنَأ
اوُبيِصُت اًمْوَق
ٍةَلاَهَجِب
اوُحِبْصُتَف ىَلَع
اَم ْمُتْلَعَف
َنيِمِداَن
“Wahai orang-orang
yang beriman jika
orang fasik datang
kepada kamu
membawa sebuah
berita maka telitilah,
agar kalian tidak
mencela suatu kaum
dengan
kebodohan.” (QS. al-
Hujuraat: 6) (baca
jawaban untuk
berbagai tuduhan di
atas dalam kitab-
kitab berikut, 1.
Mas’ud an-Nadawy,
Muhammad bin Abdul
Wahab Muslih
Mazlum, 2. Abdul Aziz
Abdul Lathif,
Da’awy Munaawi-
iin li Dakwah
Muhammad bin Abdil
Wahab, 3. Sholeh
Fauzan, Min A’laam
Al Mujaddidiin, dan
kitab lainnya)
-bersambung insya
Allah-
*) Penulis adalah
Rektor Sekolah
Tinggi Dirasat
Islamiyah Imam
Syafii, Jember,
Jawa Timur
***
Disampaikan dalam
tabligh Akbar 21 Juli
2005 di kota Jeddah,
Saudi Arabia
Oleh: Ustadz DR. Ali
Musri SP *
Artikel
www.muslim.or.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H

BELAJAR EKG MUDAH