BAGI YANG MAU BOM BUNUH DIRI

Berikut ini lanjutan
fatwa para ulama
tentang masalah
Takfir dan Ciri-ciri
khawarij. Insya Allah
pada kesempatan ini,
akan kami
ketengahkan
keterangan dari
Syaikh Abdul Aziz bin
Abdulloh Alu Syaikh
dan Syaikh
Muhammad bin
Shalih Al ‘Utsaimin
rahimahumallah.
***
Jawaban Syaikh
Abdul Aziz bin
Abdullah Alu Syaikh
Dalam satu majelis di
Masjidil Haram,
beliau menggariskan
metode interaksi
dengan orang-orang
yang menempuh
jalan hidup ekstrem
ini. Beliau berkata:
“Kebanyakan orang
yang menganut
pemikiran ini, adalah
orang-orang bodoh
yang diperalat,
disebabkan ilmu dan
pengalaman mereka
masih dangkal.
Mereka dijangkiti
pemikiran takfir
(pengafiran) ini dari
sekelompok orang
yang menjadikan
metode ini, sebagai
batu loncatan untuk
merealisasikan
rencana jahat
mereka. Mereka
mengusung
pemikiran ini, guna
mengelabui orang-
orang yang dangkal
ilmu, pemahaman
dan pengalaman.
Kewajiban setiap
muslim yang
menemui orang lain
yang meyakini
pemikiran ini,
hendaknya
mengingatkan,
memaparkan
kebatilan ideologi
dan alur pikirannya.
Bila ia sadar dan
segera kembali
kepada akal
sehatnya, maka
inilah yang
diharapkan. Tapi
kalau keras kepala,
ngotot pada
pendiriannya, maka
jangan sampai
orang-orang
tersebut dibiarkan
leluasa menodai
generasi muda kita
dan agamanya.
Ideologi takfir
merupakan satu
dosa dan kesalahan,
di belakangnya ada
skenario perusakan
umat, mereka
menempuh segala
macam cara untuk
mewujudkan
rencananya.
Saya menasihati
saudara-saudaraku
agar senantiasa
mewaspadai
propaganda yang
mengafirkan
komunitas muslim,
mengajak kepada
perlawanan
terhadap pemerintah
dan angkat senjata
melawan kaum
muslimin. Saya juga
mengingatkan orang
yang berfatwa
kepada mereka agar
takut kepada Allah,
tentang dirinya,
kaum muslim serta
masyarakat muslim.
Dia harus
mengetahui bahwa
jalan yang sedang ia
tempuh adalah jalan
ahlul bid’ah.
Salafush Sholeh
begitu jauh dan
terhindar dari jalan
yang salah ini.
Mereka senantiasa
menganjurkan
masyarakat agar
tetap setia dan taat
serta sabar
menghadapi
pemerintah, meski
mereka berbuat
kecurangan maupun
kezaliman. Mereka
juga mewanti-wanti
agar tidak melawan
penguasa, demi
memelihara darah
umat, kebulatan
tekad dan
menyatukan barisan.
Hendaknya kalian
bertakwa kepada
Allah pada umat
Islam, waspadailah
kemurkaan Allah dan
siksa-Nya. Para
mufti (tanpa dasar
ilmu), yang tidak
bertaubat, umat
Islam harus berhati-
hati dan
memperingatkan
umat serta menjauhi
mereka. Semoga
Allah melindungi
umat islam dari
kejelekan dan fitnah,
baik yang nampak
maupun
tersembunyi.” (Harian
‘Ukadl edisi: 776
tanggal 4-6-1424 H).
Perkataan Syaikh
Muhammad bin
Sholeh Al Utsaimin
Sudah diketahui
bahwa vonis kafir
harus melalui dua
tahapan penting:
Pertama:
Adanya dalil yang
menunjukkan bahwa
perbuatan tersebut
merupakan
kekufuran,
mengeluarkan dari
agama. Sebab ada
dalil-dalil yang
menyebut satu
perbuatan sebagai
kekufuran, namun
yang dimaksud
bukan kekufuran
yang menyeret
pelakunya keluar
dari agama. Maka
anda harus tahu
bahwa dalil ini
menunjukkan bahwa
amalan ini atau
pelanggaran ini
merupakan
kekufuran yang
mengeluarkan
pelakunya dari
agama.
Kedua:
Aplikasi dalil tersebut
pada individu yang
melakukan
perbuatan yang
menyatakan dalam
dalil sebagai
kekufuran. Pasalnya,
tidak setiap pelaku
perbuatan yang
mengafirkan
menjadi kafir,
sebagaimana
ditunjukkan dalam
kandungan dalil Al
Quran maupun As
Sunnah. Allah
berfirman:
نَم َرَفَك
ِهللاِب نِم
ِدْعَب ِهِناَميِإ
َّالِإ ْنَم
َهِرْكُأ
ُهُبْلَقَو
ٌّنِئَمْطُم
ِناَميِإلْاِب
نِكَلَو نَّم
َحَرَش
ِرْفُكْلاِب
اًرْدَص
ْمِهْيَلَعَف
ٌبَضَغ َنِّم
ِهللا ْمُهَلَو
ٌباَذَع ُُميِظَع
“Barang siapa kafir
kepada Allah
sesudah beriman (dia
mendapat
kemurkaan Allah),
kecuali orang yang
dipaksa kafir
padahal hatinya
tetap tenang dalam
beriman (dia tidak
berdosa), akan tetapi
orang yang
melapangkan
dadanya untuk
kekafiran maka
kemurkaan Allah
menimpanya dan
baginya azab yang
pedih.” (Qs. An Nahl:
106)
Kalau ada seseorang
dipaksa untuk
berbuat atau
mengatakan satu
kekufuran dan
terpaksa
melakukannya,
berdasarkan
kandungan Al Quran
dia tidak kafir
kendati
perbuatannya kufur.
Misalnya: dia dipaksa
untuk bersujud
kepada berhala,
kemudian ia
melakukannya,
perbuatan sujud
kepada berhala
adalah kufur, tidak
ada perdebatan,
namun dia terpaksa
melakukannya,
sedangkan hatinya
tetap tenang dengan
keimanan, ia tetap
yakin bahwa berhala
tersebut tidak
berhak untuk
disembah, dan
bersujud kepadanya
adalah perbuatan
kufur, maka dia
terbebas dari
apapun.
Contoh lain: ada
seorang yang
dipaksa untuk
mengucapkan
perkataan kufur,
sehingga ia
mengatakan: Trinitas
(Allah adalah Tuhan
ketiga dari tiga
tuhan). Apakah orang
ini kafir, sedangkan
hatinya yang tetap
tenang dan yakin
dengan
keimanannya?
Jawabannya: tidak.
Adapun dalil dari As
Sunah, adalah: Nabi
pernah bercerita
tentang
kegembiraan Allah
terhadap taubat
seorang hamba, satu
kegembiraan yang
melebihi
kegembiraan
seseorang yang
kehilangan unta
tunggangannya yang
membawa
perbekalan makan
dan minumannya,
kemudian lelaki itu
berusaha
mencarinya, tapi
pencariannya tidak
membuahkan hasil,
akhirnya dia
berbaring di bawah
sebuah pohon,
menanti ajal. Pada
Saat kritis tersebut,
tiba-tiba untanya
berdiri di
hadapannya, ia pun
langsung meraih tali
kendalinya, seraya
berkata (karena
luapan
kegembiraan): “Ya
Allah Engkau adalah
hambaku dan aku
adalah tuhan-Mu.”
Ia salah ucap, karena
hanyut oleh luapan
kegembiraan (HR.
Muslim no: 2747 dari
hadits Anas bin Malik
radhiallahu ‘anhu).
Apakah orang ini
kafir? Jawabannya:
Tidak.
Demikian pula
seorang banyak
berbuat maksiat,
namun ia merasa
takut akan
menerima siksaan
Allah, sehingga
mengatakan kepada
keluarganya: “Jika
aku mati, bakarlah
jasadku, kemudian
tumbuk dan
sebarkan (abunya) di
lautan. Demi Allah
kalau Rabbku
berhasil menemukan
jasadku, niscaya aku
akan disiksa dengan
siksaan yang tidak
pernah ditimpakan
kepada siapa pun
dari kalangan
makhluk.” Akhirnya
keluarganya pun
menjalankan
wasiatnya.
Kemudian Allah
menghimpun seluruh
bagian jasadnya, dan
bertanya kepadanya.
Ia mengaku: bahwa
ia melakukannya
karena takut kepada
Allah, (dia mengira
bahwa Allah tidak
kuasa untuk
menghimpun
kembali jasadnya).
Allah
mengampuninya,
meskipun
keraguannya akan
kekuasaan Allah
merupakan
kekufuran, namun
dia tidak ingin
menyifati Allah
dengan sifat tak
berdaya, tapi ia
melakukannya
karena merasa takut
kepada-Nya. Dia
mengira bahwa
pelarian yang dia
lakukan akan
menyelamatkannya
dari siksa Allah.
Dengan demikian,
wahai saudara-
saudaraku, harus
ada dua hal penting
dalam pengkafiran:
Pertama:
Adanya dalil yang
menunjukkan bahwa
perbuatan tersebut
kufur, mengeluarkan
pelakunya dari
agama.
Kedua:
Hukum kekufuran
tersebut telah
relevan dengan
pelaku tersebut.
Sebab bisa jadi ada
padanya penghalang
dari vonis kafir,
meskipun ucapan
atau perbuatannya
kufur. Perkara-
perkara yang
menghalangi
penjatuhan vonis
kafir telah gamblang
dijelaskan oleh
syariat.
Alhamdulillah, jika
dua syarat ini tidak
terpenuhi dan ada
orang mengafirkan
saudaranya, maka
dia sendiri yang
kafir. Karena Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah
memberitahukan
bahwa orang yang
memanggil orang
lain dengan ucapan
“wahai orang
kafir” atau dengan
“wahai musuh
Allah” padahal tidak
demikian adanya,
maka vonis ini
menjadi bumerang
bagi dirinya, dialah
yang kafir, dialah
yang musuh Allah.
Kalau ada orang
yang bertanya,
bagaimana mungkin
dia yang menjadi
kafir, padahal dia
mengafirkan orang
tersebut karena rasa
kecemburuannya
untuk Allah?
Kita jawab: bahwa
dia mengafirkan
karena mendaulat
dirinya sebagai
pembuat syariat
bersama Allah,
dengan mengklaim
orang tersebut telah
kafir, padahal Allah
belum
mengafirkannya, ia
telah menjadikan
dirinya sebagai
tandingan Allah
dalam pengafiran. Ini
dari satu sisi. Dari sisi
lain: bisa jadi Allah
mengecap hatinya,
sehingga akhir
kehidupannya
bermuara pada
kekufuran kepada
Allah, dengan nyata
dan jelas. Sehingga
masalah ini benar-
benar berbahaya,
dan kita tidak berhak
untuk mengafirkan
orang yang belum
dikafirkan oleh Allah
dan Rasul-Nya.
Sebagaimana kita
juga tidak
berwenang untuk
mengharamkan
sesuatu yang tidak
diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya,
juga menghalalkan
sesuatu yang tidak
dihalalkan oleh Allah
dan Rasul-Nya, juga
mewajibkan hal
yang tidak wajibkan
oleh Allah dan Rasul-
Nya. Akan semakin
fatal, jika pengafiran
disematkan pada
pemimpin umat ini
(ulul amri), yang
terdiri dari para
ulama dan
pemerintah,
berdasarkan firman
Allah:
اَهُّيَأاَي
َنيِذَّلا
اوُنَماَء اوُعيِطَأ
َهللا اوُعيِطَأَو
َلوُسَّرلا
ىِلْوُأَو
ِرْمَألْا ْمُكنِم
“Wahai orang-orang
yang beriman
taatilah Allah dan
taatilah Rasul dan
ulul amri di antara
kamu.” (Qs. An
Nisaa’: 59)
Menurut ulama
tafsir, ulul amri
adalah ulama dan
umara. Ulama
mengendalikan
perkara umat dalam
aspek syariat dan
mendakwahkannya,
sedangkan
pemerintah
memegang kendali
umat dalam
pelaksanaan syariat
(eksekutor), dan
memaksa rakyat
untuk mematuhinya.
Bila klaim takfir
menimpa mereka,
maka tidak
berpengaruh buruk
pada pribadi mereka,
sebab mereka
memahami diri
mereka masing-
masing, lontaran
tersebut tidak
membuat mereka
pusing. Sungguh
ucapan yang lebih
kotor dari sekedar
pengafiran pernah
dilontarkan kepada
sosok yang lebih
mulia dari mereka.,
yaitu para Nabi yang
dikatakan kepada
mereka, seperti yang
dikisahkan dalam
firman Allah:
َكِلَذَك ىَتَأآَم
َنيِذَّلا نِم
مِهِلْبَق نِّم
ٍلوُسَّر َّالِإ
اوُلاَق ٌرِحاَس
ْوَأ ٌنوُنْجَم
“Demikianlah tidak
seorang rasul pun
yang datang kepada
orang-orang yang
sebelum mereka
melainkan mereka
mengatakan ‘Ia
adalah seorang
tukang sihir atau
orang gila.’” (Qs.
Az Dzaariyaat: 52)
Pengafiran penguasa
mengandung dua
dampak negatif yang
sama-sama besar:
Dampak secara
syariat (agama) dan
sosial.
Pertama: Kerusakan
dari sisi agama.
Ulama yang telah
diklaim
kekafirannya, tidak
akan dimanfaatkan
ilmunya oleh
masyarakat, minimal
akan timbul
keraguan atau
kecurigaan terhadap
mereka. Sehingga
orang yang telah
mengafirkan ulama,
menjadi penghancur
syariat Islam.
Lantaran syariat
islam ditimba dari
mereka, para ulama.
Dan mereka adalah
pewaris para nabi,
sedangkan para nabi
tidak pernah
mewariskan dirham
ataupun dinar,
mereka hanya
mewariskan ilmu,
barang siapa yang
mendapatkannya,
maka ia telah
mengantongi bagian
yang melimpah dari
warisan mereka.
Kedua: Adapun
pengafiran
pemerintah, maka
menyimpan
kerusakan sosial
yang besar yaitu
kekacauan,
peperangan saudara,
yang tidak ada yang
mengetahui
penghujungnya
melainkan Allah.
Karena itu, kita harus
waspada terhadap
masalah ini. Orang
yang mendengar
lontaran vonis kafir,
hendaknya
menasihati
pengucapnya dan
menakutinya dengan
Allah subhanahu wa
ta’ala. Dan
mengatakan
kepadanya, jika
engkau melihat ada
satu perbuatan
kekufuran yang
dilakukan seorang
ulama’, maka
kewajiban anda
adalah menemuinya
dan kemudian
berdiskusi
dengannya seputar
masalah tersebut,
hingga jelas duduk
permasalahannya
bagi anda. (Fitnatut
Takfir hal: 65,
penyusun: Ali bin
Husain Abu Luz).
–bersambung–
***
Disusun oleh: Ustadz
Muhammad Arifin
Badri
Artikel
www.muslim.or.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H

BELAJAR EKG MUDAH