DAN KOIN ITU TERTELAN

Jumat, 23 Oktober
09
Pernakah Anda
mengalami saat-saat
yang sangat sulit
dalam hidup, di mana
bekal uang Anda
hanya tinggal satu-
satunya sementara
Anda dihadapkan
kepada dua
kebutuhan yang
sama-sama penting,
jika kebutuhan
pertama ditunaikan
maka kebutuhan
kedua harus
direlakan, sebaliknya
jika kebutuhan yang
kedua dutunaikan
maka yang pertama
harus dilupakan?
Tidak sampai pada
batas ini saja, bekal
yang sudah pas-
pasan itu, yang
sejatinya bisa
menutupi salah satu
dari kedua hajat
penting itu, justru
hilang oleh
kekonyolan diri
sendiri.
Inilah yang dialami
oleh seorang
Muhammad bin
Thahir al-Maqdisi,
seorang hafizh
muhaddits, lahir di
Baitul Maqdis tahun
448 H dan wafat
tahun 507 H, di
negeri orang demi
menuntut ilmu
dengan bekal minim
dan hidup serba
kekurangan, namun
lezatnya ilmu dan
manisnya hadits
mengalahkan semua
itu, sampai suatu
ketika bekalnya
benar-benar
pamungkas, tinggal
satu koin dirham,
jumlah yang hanya
cukup untuk makan
atau membeli kertas
untuk menulis ilmu,
pilihan yang sama-
sama bukan pilihan,
makan berarti kertas
tidak terbeli, kertas
berarti lapar terus
mendera. Namun
calaka, dalam kondisi
menimbang dengan
diliputi sedikit
kebingungan inilah,
malah jutsru koin
satu-satunya itu
tertelan, lenyaplah
kesempatan untuk
makan atau membeli
kertas. Tetapi tidak,
karena Allah memiliki
banyak pintu rizki,
satu pintu boleh
tertutup tetapi tidak
dengan pintu-pintu
yang lain.
Biarkan Muhammad
bin Thahir berkisah,
dia berkata, aku
kencing darah demi
mencari hadits dua
kali, sekali di
Baghdad dan sekali
di Makkah, hal itu
karena aku berjalan
tanpa alas kaki di
bawah terik
matahari yang
sangat, maka hal itu
menimpaku, aku
tidak pernah
mengendarai hewan
tunggangan demi
mencari hadits
kecuali hanya sekali,
aku memanggul
kitab-kitabku di atas
punggungku, sampai
aku bermukim di
suatu kota, selama
aku mencari hadits
aku tidak meminta
kepada seorang pun,
aku hidup dari apa
yang aku dapatkan
tanpa meminta.
Aku melakukan
perjalanan dari Thus
ke Ashbahan demi
hadits Abu Zur’ah
ar-Razi yang
diriwayatkan oleh
Muslim di dalam ash-
Shahih, sebagian ahli
hadits
mengingatkanku
kepadanya di malam
hari, ketika pagi tiba,
aku menyiapkan
kendaraanku dan
aku pergi ke
Ashbahan, aku tidak
melepasnya sampai
aku masuk kepada
Syaikh Abu Amru,
maka aku
membacanya
atasnya dari
bapaknya dari Abu
Bakar al-Qatthan
dari Abu Zur’ah, Abu
Amru memberiku
tiga potong roti dan
dua biji jambu, pada
malam itu aku
memang tidak
mempunyai makan,
hanya itu
makananku,
kemudian aku
mendampinginya
sampai aku
mendapatkan apa
yang aku inginkan,
kemudian aku
berangkat ke
Baghdad, ketika aku
kembali ke
Ashbahan, dia telah
meninggal semoga
Allah merahmatinya.
Suatu hari aku
membaca sebuah juz
pada Abu Ishaq al-
Jabbal di Mesir, lalu
seorang laki-laki
yang berasal dari
kotaku datang
kepadaku dari Baitul
Maqdis, dia berkata
kepadaku secara
rahasia,
“Saudaramu telah
tiba dari di Syam.”
Dan hal itu setelah
orang-orang Turki
masuk ke Baitul
Maqdis dan
membunuh orang-
orang di sana. Aku
terus membaca,
tetapi aku tidak bisa
berkonsentrasi, aku
tidak bisa membaca
dengan benar, maka
Abu Ishaq berkata
kepadaku, “Ada apa
denganmu?” Aku
menjawab, “Baik.”
Dia berkata, “Kamu
harus mengatakan
kepadaku apa yang
dikatakan kepadamu
oleh laki-laki itu.”
Maka aku berterus
terang kepadanya,
dia bertanya,
“Berapa lama kamu
tidak bertemu
dengan
saudaramu?” Aku
menjawab,
“Bertahun-tahun.”
Dia bertanya, “Lalu
mengapa kamu tidak
pergi kepadanya?”
Aku menjawab,
“Sampai aku
menyelesaikan juz
ini.” Dia berkata,
“Betapa besar
kesungguhan kalian
wahai ashabul
hadits, majlis telah
selesai, shalawat
dari Allah kepada
Muhammad.” Dan
dia pergi.
Aku bermukim di
Tunis beberapa
waktu lamaya,
menumpang di
rumah Abu
Muhammad bin al-
Haddad dan kawan-
kawannya, aku
ditimpa kesulitan
hidup, uangku tidak
ada yang tersisa
selain satu dirham,
pada hari itu aku
butuh roti dan kertas
untuk menulis, aku
bingung, jika aku
belikan roti maka
aku tidak membeli
kertas, jika aku
belikan kertas maka
aku tidak membeli
roti, tiga hari tiga
malam berlalu dalam
kondisi demikian
tanpa makan apa
pun.
Di waktu pagi hari
keempat, aku
berkata kepada
diriku, ‘Kalau aku
mempunyai kertas,
aku tidak akan bisa
menulis apa pun,
karena aku lapar.’
Aku meletakkan
dirham di dalam
mulutku, aku keluar
untuk membeli roti,
koin dirham itu
tertelan olehku, aku
tertawa,
menertawakan
diriku sendiri, tiba-
tiba aku bertemu
dengan Abu Thahir
bin Khatthab ash-
Shaigh al-Mawaqiti
di Tunis pada saat
aku tertawa, dia
bertanya, “Apa
yang membuatmu
tertawa?” Aku
menjawab, “Baik.”
Tetapi dia
mendesakku dan aku
tetap menolak tidak
mengatakan
kepadanya, maka dia
bersumpah dengan
talak, “Katakanlah
dengan jujur,
mengapa kamu
tertawa?” Maka
aku mengatakan
kepadanya, lalu dia
menggandengku dan
membawaku ke
rumahnya, dia
menjamin
makananku pada
hari itu.
Di waktu Zhuhur, aku
keluar untuk shalat
Zhuhur bersamanya,
dia dikerumuni oleh
para pembantu
seorang pembesar di
Tunis bernama Ibnu
Qadus, maka
pembesar itu
bertanya kepadanya
tentangku, dia
menjawab, “Ini
dia.” Dia berkata,
“Tuanku –yakni
Amir Tunis-
memerintahkanku
untuk memberinya
sepuluh keping
dirham yang nilainya
seperempat dinar
perhari, tetapi aku
lupa.” Maka dia
mengambil darinya
tiga ratus dirham
dan dia datang
kepadaku, dia
berkata, “Allah
telah memudahkan
rizki yang tidak
terduga.” Dia
menceritakan
kisahnya, aku
berkata, “Simpan
uang itu padamu,
kita tetap berkumpul
sampai saatnya aku
harus pergi, aku
sendirian, tidak ada
orang yang
mengurusi
urusanku.” Maka
dia melakukannya,
setelah itu dia
memberiku jumlah
tersebut sampai aku
berangkat ke Syam.
Walillahi fi khalqihi
syu`un.
(Izzudin Karimi)
Artikel yang dimuat
di situs ini boleh di
copy & diperbanyak
dengan syarat tidak
untuk komersi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H

BELAJAR EKG MUDAH