OLEH-OLEH UNUK JAMA'AH HAJI (artikel buletin An Nur)

Sebuah Sisi
Jama’ah Haji Kita.
Ada suatu fenomena
yang unik di
kalangan jamaah
haji kita khususnya,
yaitu ketika selesai
bertahalul, maka ada
sedikit perubahan
dalam panggilan
nama mereka yakni
penambahan
sebutan Haji/ Hajjah
di depannya.
Demikian pula
setelah kepulangan
mereka ke tanah air,
sebutan kehormatan
tersebut masih terus
melekat pada
namanya. Rasanya
tidak afdhal jika kita
memanggilnya tanpa
mendahului dengan
sebutan itu. Hal ini
dikarenakan
mulianya perjalanan
ibadah tersebut yang
merupakan
paripurnanya rukun
Islam yang lima, di
samping memang
membutuhkan
pengorbanan yang
besar baik tenaga,
biaya maupun
waktu, sehingga
tidak semua orang
Islam mampu
menunaikannya.
Panggilan itu boleh
jadi adalah sebagai
penghormatan
karena telah sukses
melakukan acara
ritual yang agung,
atau mungkin juga
bermula dari
panggilan yang biasa
digunakan oleh
penduduk asli Arab
ketika memanggil
jamaah haji dengan
“Ya Hajj” karena
memang tidak tahu
siapa namanya.
Bagi mereka yang
memiliki latar
belakang ilmu
syar’i, insya Allah,
panggilan haji
tersebut bukanlah
masalah besar yang
harus dipersoalkan.
Artinya, dia tidak
akan peduli apakah
nantinya dia
dipanggil pak haji, bu
haji atau tetap
dengan panggilan
sebelum ia
menunaikan haji. Toh
tujuan dan niatnya
adalah semata-mata
untuk beribadah
kepada Allah
Subhanahu
waTa’ala. Dan
memang
demikianlah
hendaknya setiap
jamaah haji berniat
dalam perjalanan
hajinya, sebab jika
niatnya lain,
misalnya agar
disebut bapak atau
ibu haji, maka ia
tidak akan
memperoleh bagian
apa-apa di sisi Allah
Subhanahu
waTa’alal, kecuali
panggilan tersebut.
Hal ini dikarenakan
Allah Subhanahu
waTa’ala tidak
akan menerima
amalan, kecuali yang
dilakukan secara
ikhlash semata-mata
karenaNya dan
sesuai dengan
tuntunan RasulNya
shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Allah
Subhanahu
waTa’ala
Berfirman, artinya,
“Padahal mereka
tidak disuruh kecuali
supaya menyembah
Allah dengan
memurnikan
keta’atan
kepadaNya dalam
(menjalankan)
agama yang lurus,
dan supaya mereka
mendirikan shalat
dan meunaikan
zakat; dan yang
demikian itulah
agama yang
lurus.” (QS. al-
Bayyinah: 5).
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
“Barangsiapa
melakukan suatu
amalan yang tidak
ada tuntunannya
dari kami, maka
amalan tersebut
tertolak.” (HR.
Muslim)
Dalam hadits lain,
khusus berkenaan
dengan haji, beliau
shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
“Hendaklah kalian
mengambil dariku
manasik (cara-cara)
kalian dalam
berhaji.” (HR.
Muslim).
Namun realitanya,
teori di atas tidak
sepenuhnya
terpraktekkan,
sebab tidak semua
orang faham dan
mengetahui tujuan
haji yang
sebenarnya. Bahkan
yang sudah tahu pun
terkadang masih
terkalahkan oleh
hawa nafsunya,
sehingga ketika ada
orang lain
memanggilnya tanpa
sebutan haji, maka
dadanya agak terasa
sempit dan telinga
sedikit merah karena
kurang suka, lebih-
lebih jika itu di depan
khalayak ramai.
Bahkan di antara
mereka ada yang
ketika dipanggil
namanya atau
disapa tidak
menjawab
sebagaimana
mestinya, justru
berujar, “Saya
sudah dua kali pergi
haji lho!” Yakni
menghendaki agar
orang lain
memanggilnya
dengan sebutan haji.
Dalam kasus ini perlu
digaris bawahi,
bahwa kita tidak
bermaksud melarang
orang menghormati
orang lain dengan
memberi sebutan
haji. Yang perlu
diluruskan adalah
bahwa perjalanan
haji adalah
perjalanan ibadah
untuk menuju Allah
Subhanahu
waTa’ala dan
mengharap
keridhaanNya, bukan
untuk mendapatkan
embel-embel
tersebut. Adapun
setelah itu ada orang
yang memanggil
dengan bapak atau
ibu haji, maka itu
adalah persoalan lain
dan bukannya
tujuan, hanya saja
jika kebiasaan
tersebut (harus
memanggil haji)
tidak dibudayakan,
maka bisa jadi hal itu
akan memperbaiki
niat orang yang akan
melakukan rukun
Islam kelima ini.
Makna haji yang
sebenarnya.
al-Allamah Abu
Abdillah Muhammad
bin Abdir Rahman al-
Bukhari al-Hanafi
menjelaskan bahwa
haji maknanya
adalah bermaksud
atau menuju (al-
qashdu). Niat dan
maksud adalah
pekerjaan yang
paling utama sebab
ia hanya dilakukan
oleh anggota badan
termulia yaitu hati.
Karena ibadah haji ini
merupakan ibadah
yang besar dan
sangat utama, juga
memuat ketaatan
yang sangat berat,
maka disebutlah ia
al-hajj yang berarti
al-qashdu
(dinisbatkan kepada
amalan hati karena
keutamaannya, red).
Dan mengenai
pentingnya niat
dalam haji dan
umrah, Allah
Subhanahu
waTa’alal
berfirman, artinya,
“Dan
sempurnakanlah haji
dan umrah itu
karena Allah.” (QS.
al-Baqarah: 196).
Oleh karena itu
seseorang yang
pergi haji meskipun
pergi menuju
baitullah (ka’bah),
namun sebenarnya
yang jadi tujuan
adalah Rabbul
Ka’bah Allah
Subhanahu
waTa’ala Rabb seru
sekalian alam. Maka
ketika seorang
berhaji tiba di
Ka’bah, dan
sebelumnya ia tahu
bahwa pemilik
rumah tersebut tidak
ada di sana,
berputar-putarlah ia
mengelilingi rumah
itu yakni thawaf, dan
ini merupakan
isyarat bahwa
ka’bah bukanlah
maksud dan tujuan,
namun Allah
Subhanahu
waTa’alal pemilik
Ka’bahlah
tujuannya.
Begitu pula ketika
mencium Hajar
Aswad, bukan untuk
mengagungkan atau
menyembah batu,
tapi semata-mata
karena mengikuti
sunnah Rasul
shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Dan inilah
yang membedakan
antara seorang
muslim dan musyrik.
Dulu kaum musyrikin
menciumnya karena
benar-benar
menyembahnya,
sedang seorang
muslim melakukan
itu adalah karena
mengikuti sunnah.
Ibnu Abbas
radiyallaahu
‘anhumaa
mengibaratkan
bahwa menyentuh
atau mencium Hajar
Aswad seolah-olah ia
menjabat atau
mencium tangan
kanan Allah
Subhanahu
waTa’ala, sehingga
ketika seorang haji
menyentuhnya,
hendaknya tertanam
dalam benak bahwa
ia sedang berbai’at
kepada Allah
Subhanahu
waTa’ala, pencipta
dan pemilik Hajar
Aswad yang telah
memerintahkan
untuk melakukan itu.
Berbai’at di sini
maknanya berjanji
untuk selalu taat dan
tunduk kepada Allah
Subhanahu
waTa’ala,
kemudian selalu
ingat, bahwa jika
mengkhianati
bai’at tersebut
akan berhadapan
dengan murka dan
adzabNya.
Dari sini para ulama
menganjurkan,
bahwa kewajiban
pertama bagi calon
haji adalah
bertaubat,
memperbaiki
ketakwaan dan
inilah sebaik-baik
bekal. Allah
Subhanahu
waTa’ala
berfirman, artinya,
“Berbekallah, dan
sesungguhnya
sebaik-baik bekal
adalah takwa.” (QS.
al-Baqarah: 197).
Dan tak mungkin
seseorang akan
membawa bekal
takwa ini jika tidak
bertaubat dan
meninggalkan segala
jenis kemaksiatan.
Jika orang yang
berhaji telah
memahami makna
dan tujuan berhaji,
maka ketika
melantunkan
talbiyah akan
meresap dalam jiwa,
bahwa seolah-olah ia
sedang
meninggalkan segala
atribut keduniaan
dan menuju Allah
Subhanahu
waTa’ala seraya
mengatakan, “Ya
Allah aku datang, aku
datang memenuhi
panggilanMu, aku
berdiri di pintuMu,
aku singgah di
sisiMu. Aku pegang
erat kitabMu, aku
junjung tinggi
aturanMu, maka
selamatkan aku dari
adzabMu, kini aku
siap menghamba
kepadaMu,
merendahkan diri
dan berkiblat
kepadaMu. MilikMu
segala ciptaan,
bagimu segala
aturan dan
perundang-
undangan, bagiMu
seluruh hukum dan
hukuman, tiada
sekutu bagiMu. Tak
peduli aku berpisah
dengan sanak
keluarga,
kutinggalkan profesi
dan pekerjaan,
kulepas segala
atribut dan jabatan
karena tujuanku
hanyalah wajah dan
keridhaanMu, bukan
dunia yang fana
bukan nafsu yang
serakah maka
amankan aku dari
adzabMu. ” .
Setelah Para Haji
Pulang.
Banyak oleh-oleh
yang dibawa pulang
oleh para jama’ah
haji, namun ada satu
oleh-oleh yang
sangat berharga, dan
hanya bisa disimpan
dalam hati dan dada.
Oleh-oleh yang
semua orang pasti
suka untuk
menerimanya. Tak
lain adalah
kebersihan jiwa dan
akhlak. Inilah yang
selayaknya dibawa
pulang oleh mereka
yang menunaikan
haji. Alangkah
indahnya jika
sepulang haji yang
dulu kikir menjadi
dermawan, penjahat
menjadi penebar
salam, bandar judi
menjadi ketua majlis
ta’lim, dan ribuan
bahkan jutaan orang
mengubah jalan
hidupnya bersama-
sama satu tujuan
menuju Allah
Subhanahu
waTa’ala. Tak ada
lagi pejabat
penerima sogok,
hakim berat sebelah,
pengusaha ataupun
pedagang licik,
curang dan lain-lain.
Apalah artinya pergi
haji jika hanya
sekedar untuk
menambah sebutan,
namun yang korup
tetap korup, yang
lintah darat tetap
lintah darat, yang
bakhil malah makin
menjadi-jadi.
Padahal perbuatan
jahat dan fasik itu
harus ditinggalkan
kapan saja bukan
hanya ketika
melakukan haji. Jika
seseorang masih
sama buruk dan
jahatnya antara
sebelum dan
sesudah haji, bahkan
malah lebih parah,
maka suatu
pertanda bahwa
kepergiannya ke
tanah suci hanyalah
sia-sia, sebab ia tak
mampu mengambil
sesuatu yang paling
berharga dari
perjalanan tersebut.
Maka hendaknya
setiap orang yang
akan melakukan
ibadah haji sadar dan
mengetahui bahwa
perjalanan yang
akan ia tempuh
adalah perjalanan
ibadah yang agung
dan mulia sehingga
harta yang
digunakan untuk itu
adalah dari
penghasilan yang
baik dan halal. Di
samping itu ia harus
mempelajari tata
cara manasik yang
benar, sesuai dengan
tuntunan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Dengan
demikian diharapkan
haji yang ia lakukan
akan menjadi haji
yang mabrur yang
diterima di sisi Allah
Subhanahu
waTa’ala bukannya
maghrur (tertipu)
atau mabur (bahasa
Jawa) yang hanya
sekedar terbang naik
pesawat saja.
Janganlah sekali-kali
kita punya niat agar
mendapat sebutan
pak haji dan bu haji
saja, lalu bangga jika
orang memanggil
dengan sebutan itu,
sekali-kali jangan.
Kalau seandainya
orang satu kampung
tidak ada yang
memanggil kita
dengan sebutan itu,
maka sesungguhnya
Allah Subhanahu
waTa’ala Maha
Tahu bahwa kita
telah
menunaikannya dan
Allah Subhanahu
waTa’ala akan
memberi balasan
sesuai dengan niat
dan usaha kita.
Wallahu a’lam.
(Ibnu Djawari)
Sumber: Khutbah
Jum’at Pilihan
Setahun, Yayasan Al-
Sofwa, Fikih
Nasehat, Fariq
Gassim Anuz,
Pustaka Azam dan
sumber-sumber lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H

BELAJAR EKG MUDAH